Ayam

Selasa, 01 Februari 2011

Dari Tunisia, hingga ke Mesir…


Ketamakan seorang penguasa yang terus berpikir, “Apa yang yang dapat saya dapatkan”, daripada “Apayang dapat saya berikan” selalu mewarnai krisis multidimensi yang terjadi di setiap kepemimpinan. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme seakan menjadi teman akrab yang kerap kali menghiasi tribun kekuasaan.” Seperempatnya dia pikirkan untuk rakyatnya, namun dua perempatnya untuk diri dan keluarganya”. Tentu proporsi ini yang selalu tertanam dalam otak sang penguasa yang tamak. Itulah sekelumit potret sang pemimpin yang tidak memikirkan kepentingan rakyat.

Berawal dari krisis kepemimpinan yang dicontohkan oleh pemeimpin Tunisia, Zain Al Abidin Bin Ali (sejak 1987). Waktu yang panjang dalam memimpin negeri belum cukup bagi pemimpin ini untuk membuat dirinya kaya raya. Karena seorang mahasiswa yang diperlakukan tidak adil oleh aparat, maka ia melakukan tindakan protes. Aksi yang dilakukan pemuda ini pun tidak digubris, sehingga pemuda ini nekad untuk membakar dirinya. Malangnya, pemuda ini pun meninggal walau sebelumnya sempat di bawa ke rumah sakit. Kejadian ini menggemparkan semua penduduk yang ada. Massa pun berang dan tumpah ke jalan menjalankan aksi yang besar guna menuntut ketidak adilan dari sang pemimpin. Massa menuntut agar presiden mengundurkan diri . Hal ini tentu bukan hanya karena reaksi dari sang mahasiswa yang nekad membakar dirinya saja, akan tetapi dari kemiskinan dan praktik korupsi yang sudah lama tidak tertangani oleh sang presiden. Tanpa pikir panjang sang presiden kabur lantaran takut akan amukan massa. Bahkan dengan ketamakannya pemimpin yang sudah tidak tahu malu ini, karena 23 tahun telah memimpin Tunisia sempat menggondol emas batangan milik negara ke Arab Saudi bersama keluarganya. Meninggalkan negeri yang dipimpinnya lantaran sudah hilang rasa kepekaaan sosialnya terhadap rakyat yang dipimpinnya.

Kejadian ini tak ubahnya seperti jilatan api yang yang menjalar membakar kayu bakar yang kering. Kejadian di tunisia juga diikuti dengan timbulnya aksi demonstrasi besar-besaran yang terjadi di Mesir. Melalui jejaring sosial internet, ribuan massa di mesir dapat dikumpulkan untuk menuntut revolusi terjadi di Mesir akibat rezim Hosni mubarak yang sudah hampir 30 tahun berkuasa. Sebenarnya warga Mesir sudah lama memendam rasa ingin bergejolak menentang pemerintahan yang berkuasa, tapi dengan kekuatan militer, dan sistem perundang-undangan yang dirancang sedemikian rupa membuat mereka tidak bisa berkutik. Akhirnya dengan adanya momentum pergerakan di Tunisia menginspirasi rakyat Mesir untuk terus bergerak hingga ribuan massa tak terbendung memenuhi jalanan di seantero Mesir.

Dari sedikit realita tersebut, ternyata setiap fase peradaban butuh inspirasi. Pergerakan yang terjadi di Tunisia tidak akan terjadi tanpa ada sang inspirator yang memberanikan dirinya dilalap api sampai nyawa merenggutnya. Hingga akhirnya aksi di Tunisia diikuti dengan demonstrasi massa yang terjadi di negeri piramida, Mesir. Awalnya rakyat Mesir sudah lama meunggu kapan tumbangnya rezim yang haus akan kekuasaan. Tapi momentumnya belum tepat, sehingga tatkala momentum itu tiba saat yang dinanti itu akhirnya datang jua, inspirasi itu datang dari sebuah benua Afrika di bagian utara, Tunisia. Walau pun yang mereka harapkan sampai saat ini belum tercapai, perjuangan yang rakyat Mesir lakukan seakan datang bak gelombang laut yang menderu. Dengan terpaksa, Hosni Mubarak segera menunjuk Perdana menteri dan wakil presiden untuk mengantisipasi keadaan. Namun, hal ini boleh dikatakan sesuatu yang terlambat. Jika tujuannya adalah untuk kemaslahatan rakyat, mengapa tidak dari awal dilakukan langkah tersebut? Tentu ini bukanlah untuk tujuan itu, melainkan sebagai langkah represif terhadap gerakan ribuan massa yang turun ke jalan, yang sampai saat ini telah menewaskan lebih dari 100 orang sejak kerusuhan meletus 18 Januari 2011.
Setiap orang butuh inspirasi, bahkan inspirasi itu dapat membuka momentum yang telah lama dinanti. Tanpa mesin penggerak, mustahil kita dapat memanfaatkan air danau menjadi pembangkit listrik yang memberikan banyak manfaat. Itulah nilai sang inspirator. Ia bisa menginspirasi orang di sekelilingnya untuk terus bergerak dan berjuang. Mengedepankan kepentingan khalayak dan menyongsong rasa keadilan untuk terciptanya kedamaian.

Untuk para pemimpin negeri yang kucintai, mari belajar dari sejarah. Sudah selayaknya kita memberikan hak rakyat untuk hidup dalam kesejahteraan. Pemimpin adalah pelayan yang selalu mengutamakan kepentingan rakyatnya daripada kepentingan “Perut” pribadinya. Pemimpin adalah orang yang yang rela berkorban lebih banyak, bukan orang yang harus “Dapat lebih Banyak”. Dan pemimpin yang sejati adalah orang yang senantiasa mecintai rakyatnya dan mengatahui keadaannya, lalu dia rela memberikan apa yang ada pada dirinya saat itu untuk rakyatnya yang kekurangan, daripada harus menunggu birokrasi yang hanya akan mencegahnya untuk peduli terhadap rakyatnya.

Budiman Jaya
Mahasiswa Fakultas kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor, Indonesia.